JANGAN CUMA
JADI THERAPIST SCRIPT !!!
Artkel ini saya buat karena saya cukup tergelitik ketika menjadikan ‘script’
seperti ‘primbon’ yang menjadi senjata therapist. Namun sebenarnya yang
mengganggu saya adalah kurangnya penggalian informasi lebih jauh tentang
dinamika permasalahan klien, yang akhirnya menjadikan dirinya “Therapist
Script”. He he he… (Anda boleh setuju, boleh tidak… )
Makhsudnya begini… Saya sering menemui therapist yang memiliki “primbon” script
yang sangat banyak dan lengkap. Sebenarnya apabila script tersebut hanya
sebagai referensi dan nantinya dikembangkan sendiri sesuai permasalahan klien,
hal tersebut tidak bermasalah. Namun apabila script menjadi hal yang mekanis
dalam proses penyelesaian masalah klien, saya yang kurang setuju. Contohnya
seperti ini… Ketika klien A dating kemudian minta diterapi ingin berhenti
merokok, kemudian tanpa ba bi bu… langsung kita ‘hajar’ dengan ‘pembacaan
script hypnosis berhenti merokok’. Padahal therapist tanpa mengetahui dinamika
permasalahan klien, Sejauhmana motivasi berhenti merokok, seberapa banyak yang
dirokok, pada saat apa saja kalau merokok, sebab dan akibatnya dan lainnya.
Apabila hal tersebut berjalan, maka proses hypnosis menjadi kurang maximal
bahkan bias jadi salah sasaran. Akhirnya, hypnosis tidak berhasil… (Namun
apakah bisa disimpulkan hypnosis tidak bisa menghentikan merokok atau memang
‘caranya’ saja yang salah…).
Oleh karena itu alangkah lebih baiknya therapist mengetahui lebih banyak
tentang dinamika permasalahan klien. Karena hal tersebut akan membuat
penanganan dan sugesti yang kita berikan dapat lebih bersifat personal sesuai
dinamika permasalahan klien. Hal itu kita dapat ketika kita menggali informasi
pada proses pre induksi.
Selanjutnya saya sampaikan tentang panduan menggali informasi pada klien
disamping artikel ini melanjutkan artikel sebelumnya tentang pre
induksi,.Bagaimana cara kita menggali dan memahami permasalahan klien kita ?
Biasanya saya mengacu pada pertanyaan – pertanyaan dibawah ini :
Who
Siapa klien kita ? Seorang terapist
harus memahami siapa klien kita, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan
bagaimana seorang terapist menghadapi klien tersebut. Terapist harus paham,
bagaimana latar belakang klien, apa pekerjaannya, hobinya, tempat kesukaannya,
pendidikannya maupun aktifitas hariannya. Dengan kita memahami klien, seorang
terapist menjadi mudah dalam proses membangun hubungan / raport. Dan kita
ketahui dari awal, bahwa raport dalam pre induksi menjadi faktor penentu
keberhasilan proses hypnotherapy.
What
Apa masalahnya ? Seringkali saya
berpijak pada hal yang lebih riil... apa itu ? Perilaku nyata...Kalau dalam
penelitian sering kita dengar, indikator perilaku. Ketika seorang klien
mengatakan tidak percaya diri, kita mungkin perlu tanya seperti apa ketidak
percaya dirinya, bagaimana bentuk ketidak percaya diri-annya, pada saat apa,
ketika dimana, berlaku terus atau hanya 1 kasus yang digeneralisir...Begitu
pula orang yang ingin berhenti merokok, kita harus tahu, biasanya merokok
berapa bungkus tiap hari, merokok pada saat apa saja dan lain sebagainya.
Dengan kita menjawab pertanyaan tersebut lebih detail, seorang terapist menjadi
lebih tahu intensitas masalahnya, dinamika permasalahannya, dan lebih terbantu
untuk melihat akar permasalahan klien.
Where
Pertanyaan dimensi tempat, bisa jadi
menjadi sumber data yang penting. Ketika ada seorang anak yang dianggap ibunya
pemalu, tidak percaya diri / ”minderan”, seorang terapist harus bisa memahami
dimana anak tersebut pemalu ? Apakah dimana saja dia pendiam dan pemalu ?
Ataukah hanya di sekolah saja ? Tetapi di rumah dan lingkungan tetangga dia
percaya diri ? Sehingga dengan menjawab dimensi tempat, seorang terapist bisa
terbantu dari jebakan – jebakan ”label” yang diberikan pada klien.
When
Ini adalah pertanyaan yang berkaitan
dengan dimensi waktu. Hal ini juga sangat penting untuk memahami dinamika
permasalahan klien. Kapan permasalahan tersebut terjadi ? Pada saat apa,
permasalahan tersebut muncul ? Sejak kapan ? Ketika ada seorang klien
menganggap dirinya tidak percaya diri, maka terapist harus bisa menggalinya.
Kapan hal tersebut terjadi ? Mungkin dia menganggap tidak percaya diri ketika
klien berbicara di depan banyak orang. Bahkan sampai keringat dingin, gemetar
di seluruh tubuh dan lain sebagainya. Mungkin kita juga mendapatkan informasi
bahwa klien pertama kali mendapati kondisi tersebut ketika pertama kali ketika
SMU kelas 1 diminta presentasi, tapi tidak siap dan akhirnya ditertawakan oleh
semua warga kelas. Selain itu, terapist juga dapat menggali lebih dalam
permasalahan klien dengan mencari tahu apa yang terjadi ”Sebelum” – ”Pada Saat”
– Sesudah”. Ketika terdapat klien yang memiliki permasalahan ”merasa tertekan
dan ingin selalu menangis”. Kita bisa bertanya ”apa yang biasanya dilakukaan,
dipikirkan dan dirasakan” sebelum muncul rasa tertekan dan ingin selalu
menangis. Mungkin, ingat pada mantan pacarnya yang meninggal, atau mungkin
ketika masuk di kamarnya dan mendengarkan musik tertentu atau warna cat
tertentu atau yang lainnya. Karena kita harus paham, hal tersebut mungkin
pencetus permasalahan tersebut muncul.
”Pada saat”, maksudnya pertanyaan dengan dimensi waktu ”saat terjadinya masalah
tersebut”. Artinya terapist harus dapat memahami apa yang terjadi ketika
masalah tersebut muncul. Tidak percaya diri, maksudnya bagaimana ? Apa yang
dilakukan klien ? Mungkin gemetar, keringat dingin, klien diam saja, gemetar
dll. Apa yang dilakukan klien pada saat tersebut ? Apa yang dipikirkan dan Apa
yang dirasakan pada saat itu ? Bagaimana dinamika lingkungan pada saat itu?
”Sesudah” adalah pertanyaan berkaitan dengan dimensi waktu ”pasca masalah
tersebut muncul”. Sebagai contoh, ketika seseorang yang memiliki kebiasaan
merokok, mungkin terapist bisa menanyakan apa yang dirasakan ketika klien
merokok ? Seorang anak yang memiliki kebiasaan mencuri, kebutuhan mencuri atau
klepto, apa yang dirasakan, dipikirkan, atau dilakukan setelah anak tersebut
mencuri?
Why
Mengapa, adalah dimensi pertanyaan
sebab, motivasi, untuk apa, alasan klien ketika perilaku klien terjadi. Seorang
terapist tidak boleh menilai benar atau salah alasan seoran klien. Karena
apapun alasan klien, justru itulah yang menjadi sumber informasi bagaimana
seorang terapist dapat memahami sudut pandang, perasaan apa adanya seorang
klien. Dengan keterbukaan klien, seorang terapist dapat lebih memahami dinamika
permasalahan klien. Seringkali pikiran bawah sadar, berkorelasi dengan perasaan
spontan dan murni dari klien, yang tidak diintervensi dengan pikiran rasional
atau bahkan malu dengan terapist. Oleh karena itu, seorang terapist harus dapat
memahami alasan ”murni dan spontan” dari seorang klien.
How
Nah...setelah memahami semua
pertanyaan tersebut, seorang terapist baru dapat menentukan bagaimana menangani
klien tersebut. Semakin banyak dan detil informasi yang didapat semakin
membantu terapist untuk dapat menangani klien dengan cara dan metode yang
paling tepat dan sesuai dengan klien tersebut.
Saya kira tidak ada alasan untuk menafikkan proses pre induksi / interview
awal. Apalagi ketika menganggap bahwa proses awal tersebut hanyalah basa basi
belaka. Justru bisa jadi, pre induksi menjadi lebih lama dari pada proses
terapi berlangsung. Karena kita juga harus pahami pre induksi adalah bagian
dari therapy itu sendiri. Dan tidak sedikit, seorang klien dapat sembuh hanya
karena di proses pre induksi saja..